Sinar yang Hilang


Indonesia kembali menampakkan tontonan politik yang menggelitik. Terlebih setelah ramai berita dilantiknya Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Fakta ini jelas mengundang respon publik, mengingat dahulu Sandi adalah pihak yang berseberangan kubu dengan Jokowi di Pilpres 2019. Namun, setelah Prabowo yang lebih dahulu masuk, kini pria yang dikenal dekat dengan emak-emak itu pun menyusul ke dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Kalau dilihat sebagai fakta biasa, tanpa mengingat masa dimana mereka dahulu berkompetisi menjadi presiden dan wakil presiden, tentulah apa yang mendasari Sandiaga masuk dalam kabinet benar-benar ungkapan yang baik.

“COVID-19 ini adalah game changer, COVID-19 ini mengubah segalanya, terutama ketika 2 minggu terakhir saya bertafakur, tadabur, berkontemplasi, refleksi, bahwa kita semua akhirnya harus bersatu padu,” ujar Sandiaga kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (23/12/2020).

Artinya, Sandiaga melihat situasi bangsa dan negara menghendaki kesamaan langkah dalam merespon situasi dan kondisi yang tidak baik yang sedang terjadi di dalam negeri ini. Sebagai politisi, jelas langkah masuk ke kabinet adalah lebih efektif, daripada harus berteriak-teriak sebagai oposan.

Semangat Sandi seperti ia tegaskan sendiri, “Memberi kontribusi terbaik, memberi sumbangsih pada bangsa dan negara, singkirkan kepentingan-kepentingan pribadi, politik, atau golongan,” kata Sandiaga.

“Semua kita lakukan demi kepentingan bangsa dan negara. Dan jika negara memanggil pada saat inilah menurut saya tanggung jawab ada di pundak masing-masing dari kita,” ujar Sandiaga.

Tetapi, bagaimana dengan “pengorbanan” emak-emak dan relawan saat mendambakan Sandi menjadi seorang wakil presiden dari Prabowo Subianto?

Apakah pantas kita mengatakan Sandiaga telah “menjual” idealisme-nya bersama Prabowo?

Apa bukti bahwa keduanya telah tersandera oleh kepentingan-kepentingan pragmatis?

Siapa yang berhak dan valid dalam memberikan penilaian terhadap semua ini?

Namun satu hal yang pasti dan menurut saya penting dinanti adalah apakah benar nantinya dalam masa Praboo dan Sandi menjadi menteri kebaikan benar-benar hadir dalam kehidupan rakyat?

Ini yang sebenarnya menarik dinanti. Sebab, dalam satu sisi kita bisa memandang, Jokowi memang sedang membutuhkan tenaga yang andal dan bisa dipercaya untuk menyelamatkan kekuasaannya dari penyalahgunaan kewenangan dan disorientasi pembangunan.

Akan tetapi inilah politik Indonesia hingga saat ini, tidak ada area yang benar-benar terang. Juga tidak ada area yang benar-benar gelap. Kata seorang poitisi lokal di sebuah wilayah Indonesia, “Tidak semua hal itu perlu dibunyikan dalam politik.”

Hal itu menandakan bahwa dalam melihat politik rakyat harus cerdas, jangan termakan oleh kata-kata yang dilontarkan, apalagi sekedar popularitas dan karena didukung partai-partai besar. Bangsa ini akan berubah kalau rakyat negeri ini kian hari cerdas melihat politik. Bukan lagi sekedar kasak-kusuk, riuh rendah suara sumbang, tapi benar-benar yang memberi energi perubahan.

Dan, terakhir saya ingin hadirkan ungkapan Sir Walter Scott yang dikutip Buya Hamka dalam bukunya Pribadi Hebat.

Bahwa kita perlu memiliki yang namanya timbang rasa. “Timbang rasa laksana rantai perak atau benang sutra yang menghubungkan hati dengan hati, akal dengan akal dan tubuh dengan jiwa.”

Hal itu perlu sekali dimiliki, baik bagi rakyat maupun penguasa. Dimana sekarang lebih diwajibkan dimiliki oleh para penguasa, dari presiden sampai menteri, timbanglah benar-benar dengan rasa, apakah ucapan dan kebijakannya itu benar, baik, bermanfaat dan dibutuhkan oleh rakyat.

Langkah ini perlu agar negeri-negeri ini tidak benar-benar kehilangan sinar yang amat dibutuhkan.

Rakyat pun demikian, harus memiliki timbang rasa. Apakah komentar, diskusi dan narasi yang dibangun dalam memberi komentar terhadap penguasa berdampak kebaikan, menambah kecerdasan dan kebijaksanaan.

Jika tidak, maka sebaiknya berhenti, karena rakyat dari bangsa lain terus berpacu dengan waktu untuk mewujudkan hidup yang lebih baik. Langkah ini penting sekali agar kita tidak terbahak-bahak dalam kegelapan. Allahu a’lam.*

Mas Imam Nawawi
Semarang, 9 Jumadil Awwal 1442 H

Mari Rawat Cita-Cita Kita


Tanpa Islam ruh ini akan jatuh, karena dunia hanyalah permainan.

Lezatnya makanan tidak menangkis sakit bagi badan. Banyaknya kekayaan tak menjaga diri dari kerugian. Bahkan semua kesenangannya hanyalah sementara saja.

Kebaikan yang dilakukan tak jadikan semua manusia mendukung. Begitu pun sebaliknya, kejahatan tak berarti semua orang memusuhi.
Inilah tempat dimana realitas harus dijawab dengan iman dan cita-cita mulia.

Bersebab iman, lahir sejarah orang-orang luar biasa, mulai dari Nabi Muhammad hingga ulama dan mujahid yang telah syahid di jalan-Nya.

Bersebab cita-cita banyak kisah luar biasa lahir di luar nalar umum manusia. Dan, itu fakta. Sampai-sampai dalam Falsafah Hidup Buya Hamka menguraikan perihal ini.

“Kalau tidak lantaran cita-cita hilanglah nafsu bekerja, berhenti gerak dunia, padam pelita orang-orang bijak bestari. Cita-cita itu hidup selamanya. Cita-cita tetap ada selama pikiran masih ada dan jiwa masih dalam tubuh.

Jangan abaikan cita-cita yang tumbuh, pupuklah dia. Baik pada burung yang mengangkut rumput selembar-lembar untuk sarang anaknya. Atau pada petani yang bertekun di sawah, di bawah cahaya matahari sehingga punggungnya telah hitam.

Cita-citalah tiang kemajuan, tonggak gerak bumi dan yang menimbulkan nafsu bergerak.”

Teman, jika lunglai tubuhmu karena beratnya amanah, maka ingatlah iman dan cita-citamu. Jika tak bergairah lagi dirimu menetapi jalan perjuangan, maka ingatlah iman dan cita-citamu.

Sebab, disadari atau tidak, pada dasarnya setiap jiwa tidak punya kekuatan, melainkan iman dan cita-cita mulianya. Itulah mengapa Allah suka dengan hamba-Nya yang senang berniat melakukan kebaikan, bahkan sebelum niat itu sempurna dilakukan, Allah Yang Maha Rahman telah memerintahkan malaikat-Nya mencatat kebaikan itu sempurna seakan benar-benar telah diwujudkan.

Jadi, mari rawat cita-cita kita bersama.

Bogor, 21 Rabiul Akhir 1442
Mas Imam Nawawi

Hidup Penuh Gairah


Betapa banyak orang yang dalam hidup jiwa dan pikirannya dininabobokan oleh alam virtual. Bahagia kalau statusnya mendapat perhatian banyak orang, baik dalam bentuk like maupun komentar.

Dan, betapa juga tidak sedikit orang yang galau karena  “rayuan” dunia online yang tak henti-hentinya dihujani oleh bergam tawaran, termasuk berhutang tanpa ba, bi, dan bu.

Semakin seseorang hanyut dalam alam virtual ia seperti orang yang terlelap dalam tidur yang penuh warna mimpi. Suka atau susah, pada akhirnya itu disadari bukan sebuah fakta dan kenyataan.

Lantas apa yang harus kita lakukan agar hidup penuh gairah?

Pertama, taklukkanlah kenyataan. Orang yang akan bahagia adalah yang sadar dirinya perlu bergerak, berjuang dan berkorban, lalu mengisi kenyataan dengan kebaikan-kebaikan. Seperti diungkapkan oleh Ustadz Abdullah Said, “Selamat datang di alam realita bukan alam cerita. Selamat berjuang di alam kenyataan, bukan pernyataan.”

Kedua, rasakanlah “jamuan-jamuan” Allah, mulai dari sholat berjama’ah, tilawah Alquran, atau bahkan membaca At-Tawajjuhat sebagai bentuk mujahadah diri menyirami ruhani agar selamat dari kehausan dan kekeringan.

Ketiga, bangun komunitas. Di alam virtual ada banyak grup, tapi di sana tak banyak yang benar-benar berhasil menjadi komunitas.

Menurut Gus Hamid kala mengisi kuliah perdana STIS Hidayatullah Balikpapan menegaskan bahwa komunitas itu adalah himpunan orang yang setiap saat fokus membahas apa yang menjadi konsennya. Kalau komunitas ilmu maka sampai bercandanya pun ilmu. Demikian pula pada komunitas lain, seperti pendidik, dai, atau lainnya, maka ituah yang jadi konsennya setiap hari.

Apabila langkah ini berhasil dijalankan, insha Allah tidak akan ada hari melainkan diisi dengan kebaikan-kebaikan dengan penuh gairah.*

Mas Imam Nawawi
Depok, 23 Rabi’ul Awwal 1442 H

Cerdas Cermat Terhadap Dunia


Kajian modern apapun yang tak dijiwai oleh ajaran islam pasti tidak akan mampu melihat dunia secara tepat. Oleh karena itu pertumbuhan, bagi mereka sebatas harta, perolehan, dan apapun lah isitilah yang tepat.

Dalam sifat dasar dunia, tentu itulah yang disebut perkembangan. Dalam Islam itu pun dianggap perlu dengan catatan untuk menebar rahmat Allah ke seluruh bumi. Bukan menggenggam seperti orang zaman sekarang, dimana ada satu orang kekayaannya selevel 10 negara berkembang.

Menarik kalau kita cermati apa yang dipaparkan oleh pakar hukum Tanah Air, Zainal Arifin Muchtar perihal analisisnya terhadap orientasi kepemimpinan Bapak Jokowi di periode kedua ini.

“Segeralah nikahi publik untuk sisa empat tahun ke depan ini karena orientasi presiden adalah kepentingan publik, bukan pertain politik. Kalau berkaca kepada Amerika, kutukan di periode kedua ini bisa terjadi karena kepemimpinan mengalami disorientasi pada kepentingan politik langsung,” ujar Zainal Arifin Mochtar saat berbicara di Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa malam, 20 Oktober 2020.

Dalam bahasa tasawuf, redaksinya jauh lebih sederhana. Dan, ini berlaku kepada siapapun, bukan semata presiden.

“Bukalah mata jasmani dan mata hatimu lebar-lebar terhadap dunia yang selalu mengecoh. Hadapilah dengan penuh waspada. hawa nafsu harus dikendalikan dan diarahkan untuk mengabdi kepada Allah semata.”

Bagaimana dunia mengecoh? Ialah ketika diri mendapat berbagai nikmat dan karunia, lantas diri lupa dan terikat lantas mau diperbudak oleh nikmat dan karunia itu sendiri, sehingga diri lupa dan lalai dari mengingat Allah. Akibatnya lupa semuanya, lupa niat, lupa bahkan kalau diri adalah pemimpin yang mestinya tanggung jawab terhadap diri dan siapapun yang di bawah kepemimpinannya.

Ini berarti kecerdasan diri harus ditingkatkan, dari memandang banyak harta dan tahta sebagai kesuksesan, sebagai hal yang mesti “diwaspadai” dan “dievaluasi” setiap hari. Salah-salah, bisa disorientasi.

Sementara itu, terhadap keadaan sulit, diri pun harus memandang secara cerdas dengan melihat betapa kalau kesulitan itu dilalui dengan tabah, sabar dan etos jihad, kebaikan pasti akan Allah berikan baik di dunia dan di akhirat. Jika ini dilakukan, maka insha Allah, dunia akan tunduk kepada diri, bukan malah diri ditaklukkan oleh dunia. Allahu a’lam.

Depok, 9 Rabiul Awwal 1442 H
Mas Imam Nawawi

Rindu yang Menggairahkan


Rindu yang menerpa
Menyapa dan menggoda
Jadikan jiwa penuh warna
Lahirkan kembali perjuangan, asa dan doa

Siapa yang kala masa kecil, masa remaja, bahkan masa mudanya hidup dalam sebuah keadaan yang berat, namun tetap ikhlas dan bersemangat?

Orang-orang seperti itu kala telah dewasa dan bisa tampil memberi warna tertentu pada kehidupan, lazimnya akan memiliki rasa rindu yang kuat terhadap masa dimana dirinya dalam kondisi serba sulit, namun semangat berbuat kebaikan terus membara.

Nabi Muhammad ﷺ adalah sosok yang mengalami itu semua. Kala anak-anak, tak punya daya, ia andalkan kejujuran. Kala dewasa, tak punya apa-apa ia andalkan kejujuran dan semangat berlaku jujur.

Hingga tiba masa beristrikan Bunda Khadijah radhiyallahu ‘anha, Nabi Muhammad ﷺ semakin kuat dalam kejujuran. Bahkan, melangkah lebih progresif, tak lelah berjuang demi kebaikan umat manusia.

Bunda Khadijah mendampingi Nabi Muhammad ﷺ selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya saat sang suami gelisah, menolongnya di waktu-waktu sulit, membantunya dalam menyampaikan risalah, bahkan meneguhkan hati dan visi hidup sebagai rahmat bagi semesta alam.

Oleh karena itu, pantas Nabi Muhammad ﷺ selalu rindu kepada Bunda Khadijah, karena demikian indah perjuangan dan pengorbanan sang istri itu. Sampai-sampai Aisyah yang merupakan sosok wanita cantik yang merupakan istri selanjutnya, tak mampu menggoyahkan rindu Nabi Muhammad ﷺ kepada Bunda Khadijah.

Jadi rindu itu positif, selama kala rasa itu hadir dan berkecamuk adalah gairah diri dalam kebaikan yang dominan. Bukan pikiran yang tidak-tidak, apalagi memilih tindakan yang justru merusak. Merusak iman, merusak pikiran, dan merusak diri serta masa depan orang.

Oleh karena itu, isilah waktu dengan kebaikan-kebaikan. Semustahil apapun analisa rasio bicara bahwa kebaikan yang kita lakukan berat dan tidak mungkin berhasil, kedepankanlah iman, akal sehat, dan doa. Insha Allah suatu waktu Allah pasti akan berikan jalan.

Ketika itu berhasil dilakukan, insha Allah, kala diri dihantam rindu, maka kita akan rindu pada masa dimana kita tidak berdaya, namun punya semangat tinggi melakukan kebaikan-kebaikan.

Seperti rindu hati kepada kedua orangtua yang telah banyak berbuat dan berkorban untuk diri kita. Rindu kepada keduanya menjadikan hati tergerak berdoa memohonkan kebaikan kepada-Nya untuk ayah ibu kita.

Seperti rindu diri akan hadir dalam majelis ilmu, kala itu tak ada kendaraan, harus jalan kaki, sementara hujan lebat. Namun diri tetap melangkah.

Itulah rindu-rindu yang menggairahkan. Maka, sungguh beruntung orang yang saat ini, rindu untuk berbuat baik seperti kala situasi sulit terjadi pada dirinya, namun semangat melakukan kebaikan tetap membara.

Sama seperti diriku saat ini, yang rindu menulis sebuah goresan kata dan kalimat, bahkan narasi di blog ini. Kesibukan, pikiran, dan tuntutan keadaan menjadikan diriku lama meninggalkan blog ini. Namun saat rindu menghampiri, seketika kuisi lagi. Ya Rabb, Alhamdulillah.

Bogor, Ahad, 8 Rabiul Awwal 1442 H

Mas Imam Nawawi

Dari Daun Kita Akan Tercengang Bahwa Mujahadah itu Dibutuhkan


Lama saya tak menyempatkan diri menulis untuk blog sederhana ini. Bukan karena sibuk, tapi inspirasi yang memang tidak mengalir deras seperti biasanya.

Mungkin ada banyak daftar alasan, tapi satu hal yang lama tak kubawa-bawa lagi adalah kamera.

Hari ini (6/9) saya ketiban “rezeki” memegang kamera Sony Alpha 7 Mark III, sebuah kamera dengan harga yang lumayan besar, Rp. 25 juta-an.

Insting memotret hadir kembali dan akhirnya dapatlah objek berupa daun jambu kristal yang masih belia dan karena itu sedap dipandang. Warna hijau mudanya membawa nuansa optimis dan heroik.

Setidaknya secara umum kita sadar bahwa daun adalah garda terdepan di dalam menangkap sinar matahari dan selanjutnya mengolah nutrisi yang dikirim oleh akar yang siang malam bekerja menghimpun bahan makanan untuk selanjutnya hasil olahan itu didistribusikan kembali ke seluruh bagian pohon. Baca lebih lanjut

Hanya Allah Tuhan Kita Mari Sadari dan Temukan Bukti-Bukti


Hanya Allah Yang Maha Pemurah yang bisa mendatangkan rahmat, kebaikan, dan keindahan iman dalam dada. Kita tak bisa sama sekali mampu merekayasa untuk itu.

Allah memberikan rute hidup pada setiap hamba-hamba-Nya yang dikehendaki beragam hal yang mengitari hidupnya sekaligus mengajak dekat melihat, memahami dan menginternalisasikan sebuah kenyataan yang menjadikan diri ini bersaki betapa Allah Maha Kuasa.

Perjalanan dakwah ke beberapa daerah di Sulawesi Selatan ini adalah satu di antara tanda kebesaran Allah. Saya tidak saja diberi kejutan, tetapi paparan kuasa-Nya.

Bukan sebatas pada alam, tetapi juga hamba-hamba-Nya yang mengasah diri bukan sekedar iman dalam wujud ibadah ritual, tapi juga dalam bentuk ketaatan dalam jama’ah. Bagaimana mungkin seorang pemuda dengan tempo 5 tahun membangun sekolah, yang sudah tentu gedung dan fasilitasnya sangat terbatas kalau tidak seperti Laskar Pelangi, namun orang-orang berpnegaruh tertarik menyekolahkan anakny di sekolah itu.

Rasio siapapun akan “dibanting: dengan kenyataan ini. Tapi jika memahami apa ketaatan dalam iman, tentu rasio itu cukup tunduk dan takjub betapa Allah pasti memberikan bantuan dan pertolongan.

Perjalanan ini juga mengantarkanku pada Sungai Radda yang teah memberikan ibrah penting di Masamba bagi kita semua.

Diceritakan kepadaku bahwa sungai itu awalnya sungai biasa, ia seperti anak-anak yang menjadi hiburan para warga yang hidup di kanan dan kirinya. Namun, siapa nyana, sungai itu kini begitu dalam dengan dominan pasir berwarna putih keabu-abuan dengan tumpukan dan serakan batu-batu besar di sana-sini.

Di titik tertentu, sungai itu menutup jalan, mengubah aliran, bahkan menenggelamkan sebagian rumah warga dengnan gundukan pasir yang begitu besar, luas dan sangat banyak.

Sesaat sebelum meninggalkan Pesantren Hidayatullah Masamba yang selamat dari ganasnya banjir itu, kutemukan sebuah alat berat sedang bekerja mengeruk pasir, hanya lima kali kerukan, truk dengan tenaga 130 PS sudah penuh dan harus segera berjalan. Berapa ribu kali kerukan untuk mengambil pasir di satu titik itu? Sementara pasir nyaris merata di sekitar pinggiran sungai bahkan menenggelamkan rumah warga.

Akhirnya tak sanggup juga rasio ini dipaksakan bagaimana semua ini bisa terjadi dan bagaimana semua ini diatasi. Tapi, seperti janji-Nya, jika sebuah penduduk negeri beriman dan bertakwa, tentulah berkah akan Allah turunkan.

Semoga dari musibah Masamba ini Allah kuatkan iman dan takwa kita semua, sehingga terasa sekali dalam diri bahwa yang kita butuhkan hakikatnya hanyalah Allah, pencipta segala sesuatu, termasuk ketenangan hati dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Imam Nawawi >>> Wawondula, 12 Agustus 2020

Momentum Bukan Ditunggu Tapi Diciptakan


Satu tantangan yang harus dijawab oleh sosok muda adalah bagaimana mengatasi diri sendiri, menguatkan apa yang menjadi tanggungjawabnya, kemudian dijalankan secara terorganisisr sehingga bisa melahirkan program-program yang sistematik dan massif.

Untuk sampai pada tahap itu, sosok muda harus berani melangkah dan menjawab realitas yang sarat kekurangan dan kendala. Tapi itulah saat terbaik untuk dia menjawab. Jika tidak, maka perjalanan waktu hanya akan menjadikan diri kuat narasi namun minim bukti.

Menghadirkan bukti tidak bisa melewatkan momentum begitu saja. Harus ada kesadaran, niat, dan kesungguhan sekarang juga.

Nabi memberikan kode sederhana perihal ini, bahwa kalau ada di waktu pagi jangan menunggu petang. Kalau berada di waktu petang tidak usah menunggu pagi, artinya kerjakan yang penting, harus, dan perlu saat ini juga, walau itu sederhana.

Kalau kita bawa konsep ini ke lapangan hijau, maka goal dari seorang Ronaldo bukan hanya karena dia terlatih, tapi karena dia berusaha menempatkan diri pada posisi tepat, sehingga kala bola tiba, ia dapat menciptakan momentum, yang walau hanya setengah detik kepala bersentuhan dengan sikulit bundar, goal dapat ia ciptakan. Itulah momentum.

Jadi, momentum adalah hal yang kita sendiri harus mengusahakan untuk menciptakannya. Kalau memang harus berlari, maka berlarilah. Kalau cukup dengn main klik di layar handphone maka lakukanlah. Intinya sadar ada peluang dan momentum kita ciptakan.

Usia muda kita ini tak mungkin terulang, maka sekaranglah saat terbaik kita ciptakan momentum kebaikan dalam banyak hal, mulai dari gagasan, silaturrahim, hingga gerakan-gebrakan nyata dalam kehidupan. Bahwa nanti ternyata hasilnya belum maksimal, maka itu tidak lain adalah jalan panjang untuk diri tak berpuas diri dan terus belajar, berbenah, dan berupaya menciptakan banyak momentum menjadi lebih baik, dalam bahasa hikmah, mampu menjadi pribadi yang khusnul khotimah.*

Imam Nawawi >>> Bogor, 7 Dzulhijjah 1441 H

Kunci-Kunci Ketenangan Hidup


Betapa banyak orang melimpah harta, bertahta, bahkan apa dimau ada, tapi gundah gulana dalam kesehariannya. Mengapa?

Karena semua yang dimiliki tak lain hanyalah kefanaan. Jika tidak ada dasar iman, maka semua itu malah jadi bara yang akan menghanguskan eksistensi seseorang, secara lahir dan batin.

Kalau menurut Al-Ghazali yang penting dikejar adalah amal ibadah. “(Karena) amal ibadah adalah kekayaan.”

Dalam kata yang lain, orang yang lalai dari ibadah karena harta dan tahta, sudah pasti ia miskin, bahkan tidak berarti apapun di hadapan Allah.


Orang yang akan meraih ketenangan hidup setelah mengingat Allah dan beribadah adalah yang memahami bahwa waktu adalah sumber daya untuk memperoleh kekayaan (amal ibadah).

Karena itu ia akan jadikan waktu benar-benar kesempatan untuk melahirkan produktivitas tinggi dalam beragam hal, mulai ibadah hingga karya maupun hobi positif yang bermanfaat.

Selanjutnya memenjarakan hawa nafsu, karena kata Al-Ghazali, hawa nafsu adalah perampok dalam perjalanan menuju keahagiaan.

Al-Ghazali memberikan bukti sejarah bahwa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW meninggalkan kenyamanan dan kenikmatan kehidupan dunia yang sesaat dengan terus menerus menghidupkan siang atau pun malam dengan ibadah berdasarkan waktunya.

“Sehingga mereka memperoleh kedekatan dengan Allah Ta’ala dan hidup di dalam kenyamanan di hari yang diliputi bahaya yang sangat besar.”

Imam Nawawi >>> Bogor, 5 Dzulhijjah 1441 H

Menjadi Penulis Produktif dari Konsep Hingga Langkah Mewujudkannya


Siang ini saya kembali menemani teman-teman Mahasiswi STIS Hidayatullah dalam KULWAP Jurnalistik. Langsung saja ya 🙂

Assalamu’alaikum wr.wb

Baik teman-teman, kita akan ulas bagaimana menjadi penulis yang produktif.

Produktif artinya senantiasa menghasilkan karya, karena kita sedang belajar menjadi penulis berarti bagaimana banyak menghasilkan karya dalam tiap waktu yang kita lalui.

Jika diibaratkan tanah, maka produktif itu adalah kesuburan, sehingga tanaman apa yang ditancap, akan mudah tumbuh dan berbuah dengan rasa yang manis dan lezat.

Jadi, kalau ada yang sehari tidak ada tulisan, eh kecepetan ya, sebulan deh, tidak ada satu pun tulisan dihasilkan, padahal berstatus mahasiswa, ibarat tanah ia tandus, sehingga apapun tak mungkin hidup di atasnya.

Ukurannya relatif, tapi paling mudah adalah satu hari satu karya tulis. Bisakah? Bisa, asalkan memang dibiasakan.

Menulis sebulan sekali itu baik, sepekan sekali lebih baik, setiap hari, itu baik yang di atas biasa, bisa dikatakan luar biasa. Nah, kalau bisa setiap hari itu baru tanah subur, itulah penulis produktif.